To Begin with Grief

Aku hampir lupa bagaimana rasanya ditinggal pergi untuk selamanya oleh salah seorang yang sangat aku cinta, aku kasihi dalam hidup ini. Karena terakhir aku merasakannya, itu terjadi pada tahun 2008 lalu. Itupun saat aku masih belum terlalu paham apa artinya kehilangan yang sangat besar.

Sampai di suatu pagi tepat di awal tahun ini, 1 Januari 2017, aku kembali merasakannya.
Kakekku bepulang ke rumah Bapa di surga. Selamanya.

Aku sedih, aku hancur, aku masih tidak percaya ia meninggalkan kami semua di awal tahun saat semua orang masih tenggelam dalam hingar menyambut awal yang baru.

So, we begin this year with grief.


Eyang kakung, begitu aku memanggilnya, adalah ayah kedua bagiku. Sampai kapanpun tidak ada yang bisa menyamainya. Dia adalah sosok yang sangat aku kagumi dalam keluarga kami. Kepribadiannya, cara hidupnya, bagaimana ia sangat sangat mengasihi cucu-cucunya melebihi anak-anaknya. Semua kebaikannya yang sampai saat ini selalu berhasil membuatku berlinangan air maat ketika mengingatnya.

Eyang, aku kangen.

Aku merindukan banyak hal dengan eyang. Aku merindukan setiap malam ditelepon hanya untuk menanyakan kabar papa; aku merindukan percakapan ringan namun sangat berkesan disana, kadang diselingi tawa saat aku menceritakan padanya apa yang baru saja aku kerjakan di kampus, kadang diisi suara penuh kekhawatirannya saat mendengar aku belum pulang ke rumah padahal sudah lewat petang, kadang dipenuhi nasihat-nasihat untuk disampaikan pada papa dan orang-orang rumah, dan masih banyak lagi. Suara itu, nada bicaranya, intonasinya, gelak tawanya, semua masih kuingat dengan sangat jelas. Bagaimana eyang memanggil namaku dengan intonasi yang khas adalah suara yang selalu membuatku menitikkan air mata saat melihat nama kontak eyang di phonebook ponselku.

Eyang, aku kangen.

Aku merindukan saat-saat dimana aku berselisih paham dengan papa dan aku menceritakannya pada eyang. Aku curahkan saja apapun yang kurasakan mengenai papa, tidak peduli pada kenyataan bahwa papa adalah anak kesayangan eyang. Aku menikmati saat-saat itu, bercertia tatap muka dengan eyang, melihat ekspresi eyang yang justru geli melihatku mengoceh dengan berapi-api. Kemudian di akhir sesi, eyang hanya akan tersenyum sambil memberi nasihat sederhana untuk menengahi, bukan untuk berdiri di salah satu sisi. Aku lega. Eyang tidak pernah memihak, tapi dengan caranya, eyang mengajarkanku untuk melihat papa--terlebih masalah yang membuat kami berselisih paham--dengan cara yang berbeda. Eyang sangat demokratis, tidak egois sepertiku yang masih berharap dibela.

Tapi aku masih ingat betul, satu momen dimana aku merasa menang dari papa saat eyang berada di pihakku. Waktu itu ceritanya aku memang sudah hampir sakit, tapi aku tetap ngotot untuk pergi jalan-jalan dengan teman SMA-ku. Sampai pada saat aku hanya ingin mampir di rumah eyang untuk mengambil barang titpan adik, aku malah benar-benar jatuh sakit. Tidak sanggup bangkit untuk menyetir pulang, aku memutuskan untuk tinggal, di rumah eyang. Tapi aku terlalu takut untuk ijin pada papa, karena aku tahu pasti aku akan kena marah akibat kengototanku untuk pergi tadi saat kondisiku memang kurang fit. Tanpa pikir panjang, aku lapor pada eyang bahwa aku takut mengabari papa. Akhirnya, dengan sabar, eyang yang menelepon papa, dan untuk pertama kalinya... aku dibela disana. Eyang berhasil meyakinkan papa bahwa aku baik-baik saja di rumahnya, tidak akan terjadi apa-apa karena akan dirawat disana dengan baik olehnya.
"Masa tinggal di rumah eyangnya sendiri kok ndak boleh. Kamu kan dulu juga tinggal disini." begitu komentar eyang sesaat setelah telepon dengan papa diputus. Dan benar saja, eyang menepati janjinya pada papa. Semalam itulah aku benar-benar dirawat oleh eyang. Hingga esok siangnya, aku sudah baik-baik saja seperti sedia kala.

Eyang, terima kasih.

Terima kasih sudah dengan sabar menghadapiku. Terima kasih sudah mengajarkanku banyak sekali pelajaran berharga yang tidak mungkin kutulis disini semua. Tentu saja, karena aku lebih memilih untuk mengingatnya sembari melakukannya dalam kehidupanku.
Terima kasih sudah menjadi ayah keduaku di bumi ini. Terima kasih buat semua peninggalan kenangan manis bahkan barang-barang yang sempat kau berikan untuk cucumu ini.
Meskipun janji untuk menungguiku sampai wisuda nanti tidak akan terwujud, tapi aku akan terus berusaha mewujudkan apa yang selama ini aku impikan dan selalu kau doakan.

Aku mengasihimu, eyang.



(WoR)

Comments

Popular Posts