Expectation
Sementara dari pantulan cermin di samping papan menu, Gerry lega mendapati Keshita sudah tersenyum riang di tempat duduknya. Kemudian saat pesanannya disodorkan oleh sang kasir, Gerry menyeringai sepotong pie di piring yang ia cengkram erat dengan senyum getir. Ia tidak pernah menyangka, sepotong lemon meringue pie di tangannya sangat amat berarti bagi gadis itu. Lebih dari apapun, siapapun.
***
“Kenapa sih, Ger, masih dipikirin
aja?” Sonya hanya bisa menggeleng heran. “Toh sebenarnya nggak ada yang
istimewa kok dari resep lemon meringue pie gue. Dari awal BitterSweet buka
sampai sekarang, takaran dan bahannya juga nggak ada yang berubah.”
BitterSweet Island, kedai kopi dan
sweet desserts itu sudah tutup satu jam yang lalu. Kursi-kursi sudah dinaikkan,
lampu-lampu semua padam, kecuali sederet lampu kuning yang menyala temaram di
depan konter dan meja display pie. Gerry memang sengaja tinggal di dalam kedai
hingga tak ada pengunjung, hingga ia berkesempatan berbincang dengan sang owner
yang tak lain adalah sepupunya, Sonya.
“Lagipula, apa sih yang sebenarnya
bikin lo sampai penasaran banget? Hmm?”
Sambil menelan suapan terakhir dari satu loyang lemon meringue pie yang dipesannya setelah close order, Gerry menunduk menatap lantai. Ia bukan penasaran, ia justru merasa….
“Kalau ini berhubungan sama your
best girlfriend—“
“Girl best firend.”
“Whatevs… si Keshia itu...
Sebenernya—“
“Keshita.”
“Oke! Menurut gue sebagai owner
yang jujur, dia langganan menu pie ini karena memang dia suka. Ya, memang itu
seleranya. Really, I have no specific reason to tell you that this pie is the
greatest in town. No, menurut gue, bahkan ini biasa aja. Bukan menu must try
juga kok. Jadi percuma lo tanya gue tentang apa bedanya resep pie ini dengan
yang lainnya.” Sonya nyerocos tanpa basa-basi.
Gery menghela napas panjang. Ia menyalakan rokoknya, terbiasa bersugesti sendiri kalau pikirannya akan dijernihkan dengan itu.
“Dammit, Ger, toko udah tutup dan
masih sempat lo nyalain rokok. Matiin!” secepat kilat Sonya menyambar sebatang
rokok yang baru sekali disesap oleh mulut sepupunya, dan mematikan pijar apinya
di asbak. “Gue mau balik cepat nih, udah capek. Mending lo ngerokok di luar, gue
mau lipatin serbet-serbet ini dulu.” katanya sambil menyeret sekantung besar
plastic laundry berisi serbet-serbet putih bersih.
Tanpa beban, Gerry melangkah ke
luar kedai sambil menyalakan rokok selanjutnya. Di luar udara sangat lembab
meski sudah tidak turun hujan. Jalanan beraspal yang basah karena diguyur hujan
tampak mengkilap di bawah lampu-lampu jalan yang menyala hangat. Langit makin
melegam, bukan hanya karena jam sudah menunjukkan pukul 23.53 tetapi karena
awan mendung pun masih menggantung di atas sana. Tak pelak, bagi Gerry, semesta
seolah ikut melengkapi kedukaannya hari itu. Pertemuan dengan sosok yang sangat
ingin dijumpainya justru tak meninggalkan kesan apa-apa.
Ah, terlalu berekspektasi. Pikirnya.
Tapi apa salahnya sebuah sambutan yang sedikit lebih meriah? Protesnya.
“Sh*t! Dammit!” ia menggerutu,
mendongak menghembuskan kepulan asap rokok ke atas, tidak cukup senang dengan
peperangan yang terjadi di dalam otaknya.
“Well, thanks universe, f*ck off.”
“Wooyy.” Sonya menepuk pundak Gerry
agak keras. “Lo bukan lagi di Belgia, jaga mulutnya.”
“Udah selesai serbet lo? Mau balik
sekarang?” tanpa menghiraukan teguran Sonya, Gerry menginjak puntung rokoknya
dan merogoh saku jeans untuk mencari kunci mobil. “Ayo,” tanpa menoleh, ia
berjalan menuju mobil Range Rover yang diparkir di tepi jalan persis di samping
kedai. Sonya mengekor.
“Gerry, wait, gue mau tanya…”
Laki-laki itu berhenti dan berbalik
menghadap Sonya.
“Memangnya hubungan lo sama si
Keshita sudah sampai sejauh mana?” senyum usil mendadak mengembang di mulut
wanita tinggi semampai ini. “Lo yakin—“
“Maksudnya? Haha,” tawa garing
mengudara. “We are here and we’ll always stay here, going nowhere. What do you
expect, huh?”
“You guys stay here as?”
“Best friends. Dari sejak gue lahir
sampai lulus SMA, terus gue ke Belgia, dan sampai detik ini perasaan lo juga
tau, kan, kalau kita akrab banget? Even our parents and family have known each
other for centuries, I guess. Why? You know that, Son.”
“Hahaha iya, iya, gue ngerti.”
Sonya memutar bola matanya, lelah berbasa-basi yang mana ia sangat tidak pandai
untuk itu. “Come on, Ger. I mean… kalau kalian memang always stay as best
friends, kenapa lo begitu terusik ketika kedatangan lo kali ini dianggap nggak
seistimewa lemon meringue pie buat si
Keshita? Toh lo datang kesini juga nggak ngabarin siapa-siapa, kan? Then
I should be the one who ask you this… what do you expect, huh? Sambutan yang
seperti apa yang lo harapkan dari dia?”
Otaknya seperti dibangunkan.
Dipantik oleh api kecil yang membuatnya kembali berpikir. Gerry tertunduk, ia
baru menyadari bagaimana otaknya
justru mengkhianatinya. Rupanya, ada sesuatu yang tidak sinkron antara apa yang
ia rasakan jauh di lubuk hatinya dengan interpretasi otaknya. Gerry menatap
Sonya sambil menyipitkan matanya.
“What? Gue nggak salah, kan, tanya
begini?” Sonya meringis penuh kemenangan, seolah baru mendapat Michellin star
untuk restorannya.
“No, tunggu..” Gerry melipat
tangannya di depan dada, berpikir. “As a best friend, seharusnya ketika sahabat
lo datang jauh-jauh dari luar negeri, sengaja nggak ngabarin karena pengen
bikin kejutan, at least ada some kind of excitement, kan, yang harus lo
tunjukin? Setidaknya, itu menunjukkan kalo lo senang sahabat lo pulang. Am I
making mistake here?”
Sonya manggut-manggut, ia mengelus
jenggot ilusinya. “Oh, that some kind of excitement itu harus banget, ya? Kalau
misalnya itu nggak ditunjukkan, memang apa ruginya buat lo? Toh pasti di
hari-hari berikutnya, gue yakin kok kalau kalian juga bakal get along lagi,
baik-baik aja seperti dulu. Jadi sebenarnya nothing to worry about sih, Ger, menurut
gue. Still best friend, kan, kalian? Berarti pertanyaan gue udah mulai lebih
lagi nih… not what do you expect but why
you should expect something. Why, Ger, why?”
Mendadak Gerry merasa pipinya
panas. Padahal jelas-jelas udara masih lembab dan rokok tidak sedang di
mulutnya. Meski begitu, otaknya tetap terus berpikir keras. Mencoba mencari
kata-kata yang bisa digunakan sebagai jawaban. Atau alasan? Entahlah, semua
perkataan Sonya seolah mengenyahkan semesta yang tadinya berduka untuk Gerry.
“Sudahlah, ayo balik, Son. Gue
ngantuk.” Laki-laki itu menyerah. Ia menekan tombol alarm di kunci mobil dan
bersiap membuka pintunya.
“So your unplanned arrival today
was meant to surprise her?”
“What?”
“Tadi lo bilang sengaja nggak
ngabarin karena pengen bikin kejutan, kan?” Sonya tertawa ringan. Melihat
ekspresi sepupunya yang mendadak linglung malah membuatnya iba. “Sudahlah, ayo
balik. Gue ngantuk, Ger.” Katanya sambil membanting pintu mobil menutup.
“No, it turns out I just surprise
myself—with this unplanned expectation.”
(WoF)
Comments
Post a Comment