To The Sky, From Ocean
Bali, April
2014
Ya, aku
tidak suka laut. Berada di atasnya, mengambang, meski di dalam bongkahan besi
mahabesar ini, aku tidak pernah suka. Membuatku mual, pening, dan penyakit
ada-ada lainnya yang hanya terjadi ketika aku berada di atasnya.
“Just get
some sleep.”
“No, I can’t.
Pokoknya malah susah tidur kalau lagi capek.” Aku merengek pada dirimu yang ada
di seberang sana. Jauh di ujung bumi yang lain sana. Dan dengan hanya
memikirkan itu saja, seketika perasaan dan pikiran ini jadi sangat lelah.
Hening.
“Do you want
to talk about something? Anything?” katamu, mulai jengah.
“You must be
so bored, don’t you?”
“Enggak,
nanti daripada kamu diem terus malah mual, gimana? Better we talk, right?”
“Bohong.”
“Fine,” kamu
menghela napas panjang. “bukan bosen, tapi pulsaku yang sekarang makin sering terbuang
dengan keheningan itu rasanya… Aku yang nggak berguna.”
Sebal, aku
memutus sambungan telepon. Jam di benda datar itu menunjukkan pukul 4:30 pagi. Merasa
tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan masih sebal, aku memberanikan diri
keluar. Ke dak kapal yang terbuka di balik pintu sana.
Ternyata di
luar angin berhembus semilir menyenangkan. Dingin. Tapi mengelus setiap
permukaan kulitku dengan lembut. Menyapa dalam desaunya yang tidak bersuara,
dan wujudnya yang tidak kasat mata. Karena yang terhampar di depan mata ini
hanya sebuah dunia yang masih gelap, terlelap. Langit dan laut menghitam pekat.
Menjadi satu. Seolah keduanya tidak memiliki batasan di antara itu. Mereka
berpadu dalam nuansa pagi yang tenang nan senyap, tanpa bisa kau lihat sampai
mana batas mereka sebenarnya bertemu. Suara air yang menyibak oleh kecepatan
kapal yang kian dipacu tidak membuat laut menampakkan batasnya dengan langit.
Mereka hanya bersatu. Tanpa perlu beradu di bagian dunia mana mereka sebenarnya
berdiri berlawanan.
Aku
tertunduk malu. Kuraih ponselku dan kembali menghubungimu.
“Masih
marah?”
“What for?”
kamu balik bertanya dan itu yang membuatku agak lega.
“Sorry, and
thanks by the way.”
“Okay. But
thanks? What—“
“No, aku
baru sadar sesuatu. Seharusnya aku tahu kalau kita memang nggak pernah punya
batasan itu. Nggak peduli kamu itu langit yang tingginnya di atas sana, dan aku
itu laut yang jauhnya dibawah sini, tapi aku tahu kalau pada akhirnya
mereka—orang-orang itu, nggak akan pernah bisa lihat sampai mana batas
sebenarnya kita bertemu. Sampai kapanpun, kita hanya menyatu tanpa perlu
beradu. So, thanks for not making some kind of distance with me. And also with
my swinging moods though. Hehe.”
“Jujur, I have no idea about what you just said.” Tawamu menghambur lepas.
Aku meringis pedih, “Sorry for always making my own distance with you.”
“Well, aku ngerti.” kamu menahan tawa dan suaramu kembali ringan. “And, yeah, so you say sorry and I say okay. To be your sky is always be my pleasure. Not always fun time though, but somehow I’m still enjoying those time when you pushed me away so that you have your own space. That’s fine. You know why, because on that moment, I tested my own belief in you. Yeah, that you eventually will know where you should go home to. Still, to your sky, right? And I am always be that sky, aren’t I? Considering to what you just said, haha.”
Ada kehangatan
yang menjalari wajahku,
“Love ya
there, sky!”
(WoF)
P.S. now your turn! www.cerita7123.blogspot.com
LOVE THIS! <3 !!!!!
ReplyDeleteThanks there!! :'))
Delete