Akhir dari Sebuah Kisah: PROLOG (1)
Tell me that this is real... Tell me that this is not a lie... Tell me that this is true... And convince me that i'm not dreaming...
Well, it tells me a lot then! The truth is:
IT ALL ENDS
CASE CLOSED
Tak ada seorang pun yang bisa menyangkalnya. Tak ada seorang pun yang bisa menampiknya.
SEMUA SELESAI, KASUS DITUTUP!
Kasus? Ya, sebuah kasus pembunuhan rasa di hati.
Meskipun sudah ditutup, tapi biarakan aku ceritakan dari awal bagaimana kasus ini sampai bisa terjadi...
Semua berawal dari sebuah permainan "tak terduga" yang sudah direncanakan dengan sangat matang oleh sebuah hati, yang sebut saja isinya adalah angin. Ya, hati yang berangin. Hampa, kosong, penuh luka, tidak solid, dan menyedihkan.
Hati tersebut lalu mengajak sebentuk hati lainnya untuk pergi ke sebuah taman bermain penuh arena permainan. Nah, sebentuk hati lainnya itulah yang sebentar lagi akan kalian pahami sebagai sang korban. Korban, target utama permainan licik nan jenius sang hati berangin yang tak lain adalah si pembunuh itu sendiri dalam kasus ini. Dan anggap saja bahwa sang korban itu adalah sebentuk hati yang masih utuh. Solid, tanpa luka, murni, segar, dan menggairahkan.
Cerita berlanjut ketika si hati berangin mengajak korbannya berkeliling terlebih dahulu di taman bermain yang indah, yang mana juga masih jauh dari arena permainan pemacu adrenalin yang ia maksud sebagai tujuan akhir dari rencananya. Sungguh, taman bermain itu adalah taman yang menyenangkan. Penuh bunga, penuh warna, hal-hal beraroma dan berasa manis bertebaran dimana-mana. Indah. Terlalu indah. Tak ada sedetik pun waktu yang terbuang untuk setetes air mata ataupun kesedihan ketika dua hati yang sedang bersemu merah itu berjalan berdampingan. Yang ada hanya tawa dan senyum bahagia. Keduanya terasa sangat hidup. Tak pernah sehidup itu. Dalam sekejap, taman bermain itu seolah sudah menjadi dunianya. Dunia hanya milik mereka berdua. Ya, kedua hati yang penuh asmara dan tak punya waktu untuk berduka meski hanya sekejap saja...
Yah, terlepas dari semua itu, kenyataan tak bisa berbohong bahwa sesungguhnya di taman bermain itu tak hanya ada mereka berdua. Masih ada ratusan pasang mata di sana. Beberapa hanya berjalan sambil lalu saja, tak peduli. Sementara beberapa lainnya ada yang memandangi-itupun dibagi menjadi 3 lagi. Ya, ada yang memandangi saja, ada yang memandangi sambil mengawasi, dan ada yang terlalu asyik memandangi sambil mengawasi sampai akhirnya ikut peduli. Bagi mereka yang hanya memandangi saja, kebahagiaan dua hati berbeda isi itu dipandanga sebagai sebuah keajaiban yang nyaris mustahil terjadi. Suatu keindahan penuh keunikan. Lalu bagi mata-mata yang memandangi sambil mengawasi, koneksi "listrik" magis diantara dua hati berbeda tekstur itu dipandang sebagai sebuah musim semi yang indah namun patut dipertanyakan, karena sudah datang sebelum tiba waktunya. Suatu keindahan penuh teka-teki. Namun ada juga mata yang tak hanya memandangi dan mengawasi, tapi bahkan sampai akhirnya ikut peduli. Bisa dibilang terlalu peduli dengan urusan pribadi kedua hati. Maka mata itu memutuskan untuk melarang kedekatan itu. Ia berpaling, diam seribu bahasa, menjauh. Karena kedekatan kedua hati berbeda rasa itu dipandang sebagai sebuah kebahagiaan palsu. Suatu keindahan yang harus dimusnahkan, cepat atau lambat...
Namun apa boleh buat ketika "mantra-mantra" sihir itu akhirnya terucap dari si hati berangin kepada korbannya? Setiap saat, setiap waktu, pesona mantra-mantra itu dihembuskan. Membuat sang korban tak menyadari semua mata yang telah memandanginya, mengawasinya, bahkan ada yang sudah berjalan menjauh darinya. Karena yang ia sadari hanya satu: lumpuh. Mantra-mantra itu membuatnya yang masih utuh segera lumpuh, karena belum pernah ia terkena tiupan mantra sememabukkan itu. Jatuh tak berdaya dalam rengkuhan sang pembunuh, dengan mudah...
Bodoh? Bisa jadi. Karena ini pengalaman pertama bagi hati yang masih murni tersebut dlm merasakan kedekatan seindah itu. Buta? Memang. Karena hati berangin yang sudah agak mati rasa itu lihai sekali dalam menyembunyikan luka-lukanya sendiri. Membuat sang korban lebih terfokus pada pesona mantra-mantranya daripada sayatan-sayatan luka dalam diri si pembunuh. Tuli? Pasti. Mantra itu diucapkan begitu dekat, sangat keras, bertubi-tubi. Membuat teriakan peringatan dari puluhan pasang mata tadi bisa dengan mudah diabaikan. Meski sesungguhnya sayup-sayup peringatan itu sempat terdengar, namun apa salahnya mengambil keputusan sendiri?
Dan pada akhirnya, sang korban pasrah begitu saja. Ia terus penasaran. Butuh pengalaman. Hasratnya tak bisa lagi dibendung. Dengan segala resiko yang siap ditanggung, ia memutuskan untuk terus menelusuri taman bermain itu dengan sang pembunuh. Tak peduli sampai kapan ia akan berujung pada arena permainan itu...
...to be continued...
(WoR)
Comments
Post a Comment