Manusia Baik

Seandainya aku diberi kesempatan untuk mundur beberapa saat ke belakang, ke masa lalu, aku mau. Aku akan bergegas.
Aku akan dengan senang hati kembali ke masa dimana kamu dan aku bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apa. Bukannya sekarang kamu dan aku itu jadi siapa-siapa dan ada apa-apa, tapi entah bagaiamana, akhir-akhir ini aku lebih sering berpikir kita ini siapa-siapa dan kita ada apa-apa. It's kinda unusual, so yep, because of that i would really love to go back on the very first start.

Mari kembali di masa dimana kamu dan aku cukup tahu nama satu sama lain saja. Cukup tahu kalau kamu itu anaknya om-tante ini dan aku ini anaknya om-tante itu. Cukup. Cukup sampai di situ dulu saja.

Lalu masuk ke masa SMA.
Kalaupun takdir tidak bisa diubah soal kita masih di satu SMA yang sama, setidaknya ketika aku diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu itu, aku hanya berharap aku tidak mendengar apa kata mereka. Aku tidak menghiraukan apa yang mereka katakan, apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka pikir. Ya, kata mereka tentang kita. Kata orang-orang di sekeliling lingkar pergaulan yang sama dengan kita tentang kita. Maaf, bukan, tentang kamu dan aku. Pada waktu itu. Ya, gara-gara di masa itu aku jadi mulai memikirkan tentang makna dibalik kata "kita". Bentuk penyatuan dari kata ganti orang pertama kamu dan aku. Bagaimana jadinya kalau "kita" disematkan di awal kalimat, yang meringkas kata kamu dan aku, yang bisa jadi juga menandakan dua individu sebagai satu kesatuan. Bukan lagi kamu, tidak lagi aku. Bukan kamu dan aku lagi, tidak. Aku mulai berpikir tentang itu, di masa itu. SMA, terlalu banyak mendengar kata mereka untuk menyesuaikan dengan jati diri yang sedang dalam perjalanannya dicari setiap hari.

Beranjak ke masa kuliah.
Aku bersyukur kalau saat menghidupi kesempatan langka yang diberikan padaku untuk mundur beberapa saat ke masa yang lalu itu aku bisa survive dengan tidak menghiraukan kata mereka tentang "kita" saat masa SMA. Artinya, seharusnya aku tidak akan memikirkanmu di masa kuliah. Ya, sudah seharusnya tergantikan dengan pikiran-pikiran soal tugas, project kelompok, presentasi, bimbingan, organisasi, dosen. Hmm, dosen tampaknya lebih baik banyak digumulkan sejak itu. Tapi nyatanya, justru hal-hal yang kusebut tadi lah yang membawaku kembali padamu. Yep, lagi dan lagi. Aku selalu punya alasan untuk mencarimu. Di saat semua tugas-project kelompok-presentasi-bimbingan-organisasi-dosen tadi terasa menghimpitku, aku berlari ke kamu. Bayangkan, semua itu kujadikan alasan. Untuk apalagi? Ya hanya untuk ketemu kamu. Karena bagaimana lagi... aku membutuhkanmu, bayangkan!

Lalu aku tersadar, saat aku berharap aku seharusnya tidak sebergantung itu sama kamu, pikiran tentang kamu yang selalu ada menjadi penawarnya. Aku menyalahkanmu. YA! Aku selalu berpikir, salah sendiri selalu bisa ditemui saat dicari. Salah siapa mau banget nyamperin dateng ke rumah saat aku cuma pengen marah-marah karena sudah gerah dengan semua masalah. Duh? Padahal kalau ditanya apa yang akan aku lakukan saat diberi kesempatan kembali ke masa kuliah itu, aku tidak tahu mau menjawab apa. Karena ya bagaimana, salahku di sana kenapa aku menganggapmu selalu ada itu sebagai bentuk lain dari perhatian. Padahal seharusnya bisa aku perkirakan kalau kamu ini memang sudah bawaannya baik. Dari lahir kamu baik sama siapapun. Dari lahir kamu ditakdirkan jadi sandaran orang yang berbeban berat. So, aku yang bodoh dengan berpikir kejauhan. Aku yang salah dengan menyalahartikan semuanya sebagai bentuk lain perhatian dan kasih sayang.

Dan masalah lainnya, aku sudah terlanjur percaya bakal ada kata "kita". Aku sudah terlanjur menceritakan ke mereka dengan kata "kita", bukan kamu dan aku. Bukan Bella dan Edward. Bukan. Terus sekarang aku masih nggak tahu apa yang akan aku lakukan di masa itu kalau aku dikasih kesempatan kembali ke sana. Masa kuliah adalah masa dimana aku bener-bener messed up dengan konsep "kita". Sekarang makanya nggak heran saat kamu mulai sering absen dari ke-selalu-ada-an-mu, aku mulai goyah. Lemah. Ya, aku mulai merasa sendiri. Aku menyalahkanmu? Iya. Untuk kesekian kalinya aku menyalahkanmu dan ini benar-benar akan membuatku tampak tidak tahu diri. Betul sudah, memang begitu. Aku memang tidak tahu diri.

Padahal dari awal seharusnya aku sadar kalau kamu itu manusia baik. Kalau kamu itu baik ke semua orang, ke semua hawa. Bukan cuma aku. Maaf ya, aku memang kepedean. Aku tahu ini hanya karena aku terlalu percaya dengan makna di balik kata "kita" itu betul-betul berkesempatan menggantikan kata kamu dan aku. Parahnya dan sialnya lagi, sekarang kekawanku mulai memandang kamu buruk. Iya, buruk. Tenang, bukan buruk rupa kok karena menurut mereka, kamu selalu mempesona. Buruk yang jahat itu, betul. Buruk dengan attitudemu yang selalu baik dan selalu ada buat saya. Paham?

Hah?! Sudah gila apa dengan menganggap manusia baik itu sebagai sesuatu yang buruk?! Bukan bukan, biar aku jelaskan...

Jadi kemarin semua kebaikanmu itu aku ceritakan pada mereka. Terus mereka anggap dan bilang itu cinta. Itu interpretasi mereka, yang kemudian dengan gampangnya aku percaya. Atau memang sejak awal aku percaya karena otakku menginginkannya demikian? Otakku menginginkan cinta maka dianggapnya semua kebaikanmu itu bentuk nyatanya? Hadeh?! Bisa-bisanya aku kepedean dengan menganggap kamu ini benar-benar ada perasaan. Atau memang ada? HAHAHALAH mbuh lah! Yang jelas, sekarang kamu itu dinilai jahat. Iya, jahat karena sudah bersikap nggak tegas. Jahat karena bersikap begitu permisif membiarkan perasaan-perasaan berbungaku ini tumbuh subur kelewat batas akibat overload menerima semua perbuatan baikmu yang juga nggak terbatas. Gila ya, kalau kayak gini aja insting manusia akan secara cepat mencari siapa yang layak disalahkan atas semuanya. Memang begitu toh manusia? Cepat dan ingin sekali mencari siapa yang seharusnya disalahkan ketika ada sebuah kejadian yang nggak mengenakkan. Dikorbankan.

Aku juga yakin, pasti di ujung lainnya kamu menyalahkanku. IYA KAN? Pikirmu, salah sendiri jadi manusia mudah sekali terbawa perasaan. Diantar jemput terus tiap mau jalan langsung luluh, diajak nonton-makan berdua saja langsung nggak berdaya, diajak keluar pas malem minggu pun senangnya langsung awet berminggu-minggu. Iya, aku paham. Aku paham kalau dari sisimu selamanya aku juga akan selalu salah.

Ah sudahlah!

Pada akhirnya kalau aku diberi kesempatan kembali ke masa lalu yang sudah di belakang itu, aku NGGAK akan bisa ngapa-ngapain. Percayalah, toh kalau aku berharap waktu SMA kita nggak berada di satu sekolah yang sama, itu nggak akan merubah semuanya. Dan yakinlah, toh ketika aku berharap aku nggak memikirkan tentang kata "kita" di masa itu aku juga nggak akan bisa merubah yang sekarang. Then?

Sekarang, pikirkan saja apa yang ada di depan. Anggap saja aku dan kamu selalu punya kesempatan untuk yang di depan, karena itu lebih mungkin daripada diberi kesempatan untuk kembali ke belakang. Iya kan? Ya sudah, aku sudah putuskan apa yang akan aku lakukan untuk yang akan datang....


Aku akan pergi. Yep, you heard it!

I'M DONE AND I'M LEAVING.

Semoga dengan aku yang tidak akan mencari kamu, tidak akan berlari lagi dan lagi ke kamu saat aku butuh, bisa menjadi awal yang baik. Bisa menjadi awal yang baik untukmu beraktifitas kembali tanpa aku mengerecoki untuk ketemu DAN bisa menjadi awal yang baik untukku berdiri sendiri di atas kakiku, tanpa kamu.

Terima kasih sudah selalu ada, dan terima kasih sudah selalu baik dalam keadaan apa saja. Sampai kapanpun, kamu akan selalu menjadi manusia baikku.




*found it interesting to post a letter that speaks from its heart. To whom it belongs and addressed to, this letter will always be here to remind.*

(WoR)

Comments

Popular Posts