Lemon Meringue Pie
Bukan hujan deras yang membuatnya sengaja menyisakan kopinya.
Bukan malas berbasah-basahan yang membuatnya duduk berlama-lama di dalam kedai.
Tapi, ia hanya sedang menunggu waktu yang tepat, sambil duduk diam disana
bersama secangkir kopi dan sebatang rokok di sela-sela jarinya.
“Hai, Ger!” suara girang yang tidak pernah asing, Sonya. “Welcome
home, sepupu!”
Rokok setengah batangnya diletakkan. Sebuah pelukan hangat melebur
singkat.
“Ih, parah banget si Gerry ini. Main kemari masak nggak
ngabarin dulu, gitu?”
“Kalau ke BitterSweet ngabarin, nanti lo kasih gratis, kan lama-lama
rugi toko ini. Mau?”
Sonya tertawa ringan, “Ah, maksud gue kan balik ke Indo, bukan
ke toko ini. Yeuuu..”
“Iya, namanya juga dadakan. Haha, sorry ya.” Gerry mematikan
rokoknya. “Anyway, nice coffee though. New arrival?”
Sonya mengangguk puas dan penuh semangat.
Meski Gerry adalah sepupunya, tapi untuk urusan minum kopi
dan pemberi nilai, laki-laki yang satu itu sangat professional. Tidak pernah
sembarangan dan selalu jujur. BitterSweet Island, sebuah kedai kopi dan sweet
desserts yang Sonya rintis lima tahun lalu, tidak akan pernah berdiri sejauh
ini tanpa adanya penilaian yang jujur dari seorang Gerry. Bahkan dari mulai
kedai ini dibangun, menata keseluruhan interior dan eksterior, pemilihan
furniture, hingga peracikan dan penyajian setiap menu kopi, Gerry tak pernah
segan dalam memberi “bantuan”-nya sebagai komentator ulung. Sonya patut
berbangga, berkat kiritikan sepupunya yang selalu pedas di satu sampai dua
tahun pertama dalam bisnis ini, akhirnya bisa membuat BitterSweet Island kini memiliki
banyak pelanggan tetap.
“Okay, have some free shots then.” Wanita itu beranjak dari
kursinya saat segerombolan remaja perempuan berjalan melewati pintu non-smoking
area tempat kedai sweet desserts berada.
“Son?”
“Your best girlfriend? Right there.” Telunjuk Sonya teracung
pada satu-satunya wanita di dalam kedai sweet desserts yang sedang berkutat
dengan laptop di hadapannya.
“My girl best friend.” Ralatanya tak didengar, Sonya sudah
menghilang di balik pintu kaca.
Tanpa
berniat kembali duduk, kopi di mejanya tandas dalam sekali teguk. Gerry
merapikan ujung bawah kemeja kotak-kotaknya lalu melangkah melewati sekat pintu
kaca yang memisahkan kedai kopi dan sweet desserts.
“Masih aja nyemil lemon
meringue pie untuk cerita fiksi? Klasik.”
Wanita berambut lurus sebahu itu lantas mendongak dari
laptopnya. “Gerry?”
“Apa enaknya sih?” celetuk Gerry sambil menyendok lemon meringue pie irisan terakhir di
atas meja. Kemudian laki-laki itu duduk, mengangguk-angguk penuh drama. “Harus
gue akui, selera Keshita Ajeng Wisnugraha memang masih bagus soal pie.”
Masih syok dan diliputi perasaan antara senang namun jengkel
karena satu gigitan terakhir yang sengaja ia sisakan harus lenayap di mulut
orang lain, Keshita segera menutup laptopnya dengan satu hentakan. Mulutnya
sudah terbuka, siap membrondong tapi rasa tidak percaya masih merayapi sampai
ke ubun-ubun.
“Kenapa? Tulisan lo belom—“
“Parah banget, Ger! Dasar! Itu gigitan reakhir gue, sial. Iihh,
ngapain juga lo kesini cuman buat nyolong pie
gue? Huush, pergi jauh-jauh sana! Balik lagi ke Belgia juga nggak pa-pa.”
“Bener nih gue balik sekarang? Lo yakin nggak butuh komentator
buat tulisan lo?”
“Lo mah kritikus, bukan komentator.”
“Lah, salah satu hak seorang komentator kan boleh mengkritik?”
“Iya, tapi gue juga berhak mendapat pujian.”
“Dasarnya aja lo yang haus pujian. Kalo memang masih perlu
kritikan, kenapa nggak?”
“Nggak, lo itu yang terlalu banyak dan sering menggunakan hak
lo. Nggak pernah kek dipuji atau diapresiasi gitu effort gue. Setidaknya dengan
lo nggak asal nyomot pie terakhir gue
tadi, itu sudah gue anggap sebagai apresiasi lo sih, F – Y – I.”
“Astaga… jadi ini soal lemon
meringue pie lo tadi?”
“Ya iyalaaahhhh! Gue nggak bisa lanjutin nulis kalau amunisi
gue habis. Tanggung jawab!” bibirnya dimanyunkan, Keshita tidak tahu bagaimana
harus merespon kehadiran sosok di hadapannya.
Gerry tertawa lepas, wajahnya mulai bersemu merah.
“Nggak lucu, Ger.”
Sambil berusaha keras menarik napas disela-sela tawanya,
Gerry berkata. “Lo harus lihat muka lo saat sebenernya kangen sama gue, syok
karena gue tiba-tiba muncul, tapi amunisi lo habis. Gue harus appreciate
ekspresi lo ini. Tunggu ya…” tangannya memegangi perut untuk menahan tawa, lalu
berjalan menuju konter dan memesan lemon
meringue pie untuk sahabatnya.
Keshita mengigit bibir atasnya supaya tawa tak meletus dari
dalam sana. Ia tak habis pikir, kerinduannya pada Gerry ternyata diketahui juga
oleh laki-laki itu. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, Belgia-Indonesia
memiliki jarak yang tidak dekat. Itulah sebabnya pertemuan di sore hari yang
basah akan hujan ini membawa sensasi tersendiri bagi Keshita. Teman makan,
teman pengkritik tulisan, teman berbagi hujatan dan curhatan, teman penyetor
referensi musik nyeleneh, teman komentator iklan komersial di TV, teman perusak
“moment of truth” orang lain, serta teman
dalam tawa dan tangis di BitterSweet Island telah kembali. Pulang. Pada sudut
dimana ia sempat menghilang, namun kini membawa baru aroma tenang. Keshita
tersenyum riang, lemon meringue pie yang
baru tak akan berarti apa-apa lagi baginya.
Sementara dari pantulan cermin di samping papan menu, Gerry lega
mendapati Keshita sudah tersenyum riang di tempat duduknya. Saat pesanannya disodorkan oleh sang kasir, Gerry menyeringai sepotong pie di piring yang ia cengkram erat dengan senyum getir. Ia tidak pernah menyangka, sepotong lemon meringue pie di tangannya sangat amat
berarti bagi gadis itu. Lebih dari apapun, siapapun.
(WoF)
Comments
Post a Comment