have.no.reason.to.write.a.title

Palermo, Januari 2011

“Hijau untuk rumput? Hijau untuk daun?
Hijau untuk lumut? Hijau untuk kolor?
Hijau untuk pohon? Hijau untuk alam?
Hijau untuk...........?”

"Hijau!" Ben mengakhiri antusias. "Hijau untuk hijau. Aku suka hijau karena dia itu hijau." Untuk memberi sejumput keyakinan pada pernyataannya barusan, Ben menyesap sedikit green tea latte pesanannya sambil melemparkan tatapan jahil.

Belle mendesah gusar digoda demikan, "It doesn't make sense, Ben."
"I know, but what do you expect?"
“Obviously, something better than that. There are still plenty of convincible reasons out there why do you like green. Karena hijaunya pohon di musim panas, mungkin? Atau hijaunya rumput di sabana? You are smart enough to make reasons, I know, Ben."
"Hey, you still didn't get it, did you?" tawa Ben malah menguap keluar. "Belle, menyukai sesuatu nggak perlu sebuah alasan yang baku."

Yang diberi tahu malah melamun, langsung membeku mendengar jawaban itu. Pikirannya melayang melambung. Berkecamuk dengan sebuah gagasan yang baru.

Tapi,
Aku untuk sahabat. Aku untuk teman curhat.
Aku untuk musuh berdebat. Aku untuk tukang ngelucu.
Aku untuk pundak tangisan. Aku untuk partner keonaran.
Aku untuk............ kamu?

"Apa mungkin?" hanya pertanyaan itu yang terlontar. Untung saja, pikir Belle.
"Apanya yang mungkin?"
"Apa mungkin menyukai seseorang juga nggak perlu sebuah alasan yang baku?"

Keduanya beradu pandang, mencari-cari jawaban.

"Tentu saja mungkin." Ben menjawab singkat, namun terdengar mantap. "Buktinya, aku menyukai kamu karena kamu itu Belle. See, so simple, right? I can’t find any single convincible reason for this. Aku juga nggak tahu kenapa bisa begitu." Pria itu menggeleng penuh kekaguman.

Belle menatap sosok di depannya bingung. Tapi jelas ia tidak heran kenapa pipinya mulai memanas dan ia sulit bernapas.

Sementara Ben, masih menatap lurus kedua mata gadis yang kini duduk salah tingkah di hadapannya. Tanpa ampun. Menunggu konfirmasi yang selama ini hanya bisa ia indikasi, namun belum pernah berujung pasti.
And that was his moment…

"How do you say about that? Isn't that crazy, huh? Yeah, i know. But after all this time, is that not enough for you to know, Belle?”

Jakarta, Januari 2015
Seandainya obrolan di sore itu tidak muncul. Andaikata aku tidak penasaran dengan warna kesukaannya. Coba saja, aku tidak mengenalnya sebaik tujuh tahun di negeri perantauan yang indah itu. Dan, seandainya-andaikata-coba-saja, saat itu aku berhenti mempertanyakan segala sesuatunya dan hanya pasrah saja… Mungkin aku tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Aku rasakan. Sesuatu yang jelas-jelas kita rasakan, namun sampai sekarang tak dapat kita temukan satupun alasannya mengapa bisa demikian.



P.S. Kurasa, cukup segelintir saja rasa penasaran bisa merubah seluruh keadaan. Maybe (?) Little bit creepy, doesn’t it? Haha, just thought… HA HA HA


(WoF)

Comments

Popular Posts