Analogi Upil
Namanya Rinjani. Aku menyayanginya selama aku mengenalnya.
Tanpa bosan.
Lahir di tahun yang sama, bertumbuh dalam lingkungan yang
tidak berbeda, membuatku dan dia tidak pernah berjarak. Berjalan bersamanya
hari demi hari adalah nyata, melewati dua puluh tahun bersama adalah manis
bahagia dan duka pahit di saat yang sama.
Bahagia ketika dia mau berbagi perannya sebagai seorang adik
yang selama ini kudambakan; bahagia ketika aku bisa menjadi pundak tangisannya;
bahagia ketika aku dan dia berjanji untuk saling menjaga rahasia…
Sampai di suatu saat, rahasia inilah yang mendatangkan luka.
Duka pertama yang datang saat dia menceritakan rahasianya padaku: ia sedang
jatuh cinta.
Rinjani jatuh cinta.
Menjadi saat-saat yang pahit ketika dia mulai jatuh cinta
dengan teman kuliahnya. Kali ini benar-benar jatuh cinta. Pahit ketika mereka
lebih banyak menghabiskan waktu bersama; pahit ketika tidak ada waktu lagi
baginya untukku; pahit ketika kini aku sadar aku tidak bisa berbuat apa-apa…
Seorang kawan lainnya menertawaiku setengah mati. “Kau
bodoh, Arjuna.” Ungkapnya yakin.
“Terkadang, hubungan persahabatan antara pria dan wanita
adalah hal yang paling menjijikkan di dunia. Trust me, salah satu dari kalian
pasti ada yang memiliki ‘that feeling’ cepat atau lambat. That kind of feeling
that either both of you guys cannot describe. Why? Because it just happen like
that. And, dude, that is what people called… Love.”
Aku tersenyum getir. Love between friendship?
“Atas
nama kesetiaan dan demi menjaga perasaan, tidak satupun dari kalian akan
mengaku tentang hadirnya perasaan cinta itu. See, that is sucks, right? And it
become more sucks for a guy if he can only do nothing. Arjuna, mainkan
analogiku: ibaratkan Rinjani adalah upil yang sudah 20 tahun bersemayam dalam
hidungmu. Kau tahu dia selalu ada disana, kau tahu dia tidak akan pernah
berpindah, tapi kau sadar sebenarnya dari dulu kau gatal ingin sekali
mengoreknya lalu mengeluarkannya dari sana. Namun karena kau berpikir bahwa
tanpa dikorek pun kalian masih bisa baik-baik saja, jadi buat apa dirusak ekosistem
yang baik itu, maka kau membiarkan Rinjani masih berada di dalam hidungmu sana.
Lalu lihat apa yang terjadi kemudian? Kau tidak sengaja membuatnya terlempar
keluar ketika kau membuang ingus. Kini dia tidak lagi di hidungmu, bro. Dia
tidak lagi sedekat itu denganmu. Tapi kau bisa apa?
Semua
sudah terlambat. Ketika dia dengan setia nangkring dalam hidupmu sebegitu
lamanya namun kau tidak pernah berani mengoreknya demi alasan agar tidak
merusak ekosistem persahabatan kalian, apa yang kau rasakan kini? Menyesal bukan
main, kan?
Ketika yang dibutuhkan hanya sedikit keberanian untuk melihat sejauh
mana ekosistem itu bisa rusak, kau tidak berani melakukannya. Toh siapa tahu
kalau dulu kau sempat mencoba meraihnya dan kalian memang berakhir bersama
karena dia juga menyimpan perasaan yang sama padamu, kenapa tidak? Upil yang
sudah dikeluarkan tidak mungkin bisa dikembalikan ke tempat asalnya, Jun.
Bhakan secara harafiah. Sampai kapapun nggak akan bisa.”
HAHA! Sebut aku bebal karena aku terlalu bodoh. Dan sebut
aku bodoh karena aku terlalu tolol.
Ironis memang ketika kawanku si Sebastian itu memberi
analogi yang sedemikian ekstrem. Tapi terasa lebih ironis ketika apa yang ia
analogikan itu memang benar adanya. Tentang aku dan Rinjanji yang semula
sedekat itu, tentang perasaan ini yang tiba-tiba saja muncul di hatiku, tentang
aku yang tidak pernah berani mencoba meraihnya demi mengungkapkannya, tentang
aku yang kini hanya bisa menyesal dan menerima mentah-mentah ini semua. Arjuna, bisa apa kau???
Love is great. Friendship is fine.
But love between friendship
is totally not great and fine.
Maaf, bukan berarti aku setuju menganggapmu sebagai sebutir upil,
tapi lebih daripada itu, aku bisa memiliki sebuah pemahaman baru tentang benda
yang oleh kebanyakan orang dianggap menjijikkan ini…
Ya, pemahaman bahwa ternyata sebutir upil bisa memiliki makna sebesar ini dalam hidupku.
Namanya
Rinjani. Aku menyayanginya selama aku mengenalnya. Tanpa bosan.
(WoF)
Comments
Post a Comment