Bertiup Kembali?! Benarkah???
Hampir sebulan.
Ya, hampir sebulan sejak angin itu berhenti bertiup dan hati ini mulai bisa melakukan penyembuhannya sendiri. Sedikit demi sedikit, perlahan namun (semoga) pasti.
Awalnya sulit. Sangat sulit.
Kondisi lingkungan yang tak bisa memisahkan diri ini dan sang angin, setidaknya untuk berbulan-bulan ke depan, membuat proses detoksifikasi hati ini sempat terhambat. Beberapa kali. Mulai dari tak bisa fokus pada suatu hal, terlihat letih suatu waktu, bahkan tak bisa berpikir jernih di hampir setiap kesempatan.
Kepala ini terus berusaha untuk tetap tegak, mendongak, sebisa mungkin berpaling dari arah perginya sang angin. Otak ini terus berusaha berteriak, menghardik, sebisa mungkin menahan kepala yang menaunginya untuk tidak menoleh ke belakang lagi. Berat. Semesta seolah tidak mendukung perpisahan ini...
Tunggu dulu,
Tidak!
Tidak sampai akhirnya masa itupun tiba. Ya, masa dimana jari-jari ini mulai sanggup dan mau berpegang pada pepohonan dan rerumputan yang sudah ada di sekelilingnya. Bodoh! Memang. Sudah jelas-jelas pohon-pohon dan rerumputan itu berada di sana sejak dulu, bahkan sebelum angin itu berhasil merobohkan kaki ini dengan keras. Namun apa? Otak ini belum fokus, makanya jari-jari ini baru terbuka sekarang. Tepat pada saat sang angin berhenti bertiup dan tubuh ini butuh sesuatu yang mampu menopang jari-jari rapuhnya.
Ya, itulah saat dimana teman menjadi obat yang manjur. Mereka adalah pohon itu, rerumputan itu. Yang sudah ada di sana bahkan sebelum diri ini kehilangan kendali akan angin yang terus bertiup dengan kencang. Sandaran, penopang yang tangguh. Tidak ada kata lain yang mampu membalas kesetiaan mereka. Obat penenang, penghilang rasa sakit. Bukan penawar biasa!
Tapi ternyata aku salah kira...
Salah kira tentang sang angin!
Entah bagaimana, saat hati ini sedang menikmati awan cerah di bawah pepohonan rindang dengan jari-jari yang masih asyik menelusuri embun di rerumputan, tiba-tiba tanpa peringatan dan tanda-tanda sebelumnya, kurasakan sebuah tiupan kecil menerpa lengan ini. Tiupan angin.
Gawat, kurasa, angin itu kembali datang!
Ya, ia mulai bertiup kembali. Perlahan meniup-niup rambut di atas kepalaku.
Meski baru sepoi-sepoi, aku bahkan bisa merasakan buaiannya di sepanjang kulitku. Lagi.
Benarkah ia kembali?
Ya, hampir sebulan sejak angin itu berhenti bertiup dan hati ini mulai bisa melakukan penyembuhannya sendiri. Sedikit demi sedikit, perlahan namun (semoga) pasti.
Awalnya sulit. Sangat sulit.
Kondisi lingkungan yang tak bisa memisahkan diri ini dan sang angin, setidaknya untuk berbulan-bulan ke depan, membuat proses detoksifikasi hati ini sempat terhambat. Beberapa kali. Mulai dari tak bisa fokus pada suatu hal, terlihat letih suatu waktu, bahkan tak bisa berpikir jernih di hampir setiap kesempatan.
Kepala ini terus berusaha untuk tetap tegak, mendongak, sebisa mungkin berpaling dari arah perginya sang angin. Otak ini terus berusaha berteriak, menghardik, sebisa mungkin menahan kepala yang menaunginya untuk tidak menoleh ke belakang lagi. Berat. Semesta seolah tidak mendukung perpisahan ini...
Tunggu dulu,
Tidak!
Tidak sampai akhirnya masa itupun tiba. Ya, masa dimana jari-jari ini mulai sanggup dan mau berpegang pada pepohonan dan rerumputan yang sudah ada di sekelilingnya. Bodoh! Memang. Sudah jelas-jelas pohon-pohon dan rerumputan itu berada di sana sejak dulu, bahkan sebelum angin itu berhasil merobohkan kaki ini dengan keras. Namun apa? Otak ini belum fokus, makanya jari-jari ini baru terbuka sekarang. Tepat pada saat sang angin berhenti bertiup dan tubuh ini butuh sesuatu yang mampu menopang jari-jari rapuhnya.
Ya, itulah saat dimana teman menjadi obat yang manjur. Mereka adalah pohon itu, rerumputan itu. Yang sudah ada di sana bahkan sebelum diri ini kehilangan kendali akan angin yang terus bertiup dengan kencang. Sandaran, penopang yang tangguh. Tidak ada kata lain yang mampu membalas kesetiaan mereka. Obat penenang, penghilang rasa sakit. Bukan penawar biasa!
Tapi ternyata aku salah kira...
Salah kira tentang sang angin!
Entah bagaimana, saat hati ini sedang menikmati awan cerah di bawah pepohonan rindang dengan jari-jari yang masih asyik menelusuri embun di rerumputan, tiba-tiba tanpa peringatan dan tanda-tanda sebelumnya, kurasakan sebuah tiupan kecil menerpa lengan ini. Tiupan angin.
Gawat, kurasa, angin itu kembali datang!
Ya, ia mulai bertiup kembali. Perlahan meniup-niup rambut di atas kepalaku.
Meski baru sepoi-sepoi, aku bahkan bisa merasakan buaiannya di sepanjang kulitku. Lagi.
Benarkah ia kembali?
(WoR)
Comments
Post a Comment